LABELISASI
SEKOLAH:
“ORANG
MISKIN DILARANG SEKOLAH ?”
Gambaran
pembangunan pendidikan yang tertuang dalam Program Pembangunan Nasional
(Propenas), dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Pertama,
dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan
pendidikan yang telah dicapai. Kedua, dunia pendidikan dituntut untuk
mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar
kerja global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu
dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional yang memperhatikan
keberagaman kebutuhan/keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong
peningkatan partisipasi masyarakat.
Menghadapi
tantangan ini diperlukan konsep pendidikan yang memihak masyarakat, bukan
pendidikan dengan berbagai “label” yang nota bene “hight cost”. Diane Ravich, seorang
professor sejarah pendidikan dari New York University, menegaskan bahwa faktor
yang paling berpengaruh terhadap rendahnya prestasi akademik siswa adalah
“kemiskinan”(Kompas 26/01/2012). Oleh
karena itu, tidak mengherankan apabila siswa dari kalangan mampu secara ekonomi
mendominasi sekolah-sekaolah berlabel RSBI/SBI.
Bagaimana nasib siswa dari kalangan ekonomi menegah kebawah (miskin)? Secara
empiris, anggapan
“orang miskin dilarang sekolah”
begitu melekat di tengah masyarakat, karena rendahnya kesempatan memperoleh
pendidikan bermutu bagi masyarakat golongan ekonomi lemah. Hal ini sangat kontradiktif
dengan jargon pemerintah “pendidikan gratis“.
Pada
masa lalu, “label” sekolah hanya dibedakan dengan sekolah Negeri dan Sekolah Swasta
dengan tambahan status akreditasi. Sekarang bermunculan sekolah dengan “label” SBI, RSBI, SSN, RSSN atau memberi label
dirinya sendiri dengan sekolah Terpadu, Immersion, IT, Bilingual, Fullday
school, dll.
Tanggapan menteri pendidikan dan kebudayaan
M.Nuh terhadap uji materi Pasal 50 Ayat (3) UU No.20 Tahun 2003 terkait Rintisan
Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) yang diajukan oleh Koalisi Anti Komersialisasi
Pendidikan perlu dicermati. Ia
menyatakan bahwa RSBI merupakan wadah atau layanan khusus bagi anak-anak
pintar. Selanjutnya, “Jika semua
anak-anak pintar harus bersekolah di sekolah yang regular, dikhawatirkan tidak
ada kesempatan untuk berkembang” kata Mendikbud (Kompas, 30/12/2011).
Setiap anak memang memiliki minat, bakat,
dan kemampuan yang berbeda-beda. Anak-anak dengan kemampuan yang kurang,
apabila mereka berada di lingkungan belajar yang lebih kondusif dengan
guru-guru yang memiliki profesionalisme yang tinggi dan berbagai sarana/pra
saranan yang diidealkan bagi RSBI/SBI, maka peluang untuk mencapai potensi
tertinggi yang dimiliki anak tersebut lebih besar. Sangat disayangkan, jika anak-anak dengan
kemampuan akademik kurang tereliminasi oleh peraturan-peraturan yang sebenarnya
bertentangan dengan hak Warga Negara
untuk memperoleh pendidikan bermutu.
Persyaratan-persyaratan
khusus dalam penerimaan siswa RSBI/SBI yang tercantum dalam Pasal 16 Ayat (1)
Permendiknas No. 78 Tahun 2008 berlawanan dengan semangat Pasal 5 Ayat (1) UU
No. 20/2003. Yang berbunyi, “Setiap warga
Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.
Selanjutnya Pasal 11 Ayat (1) menegaskan bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan
serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga
Negara tanpa diskriminasi”.
Kenyataannya,
ketidakadilan ini tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah negeri dengan “label”
RSBI/SBI yang telah memenuhi 8 standar nasional pendididkan, tetapi juga di
sekolah-sekolah yang berada pada level di bawah RSBI/SBI berdasarkan kategorisasi Sekolah Standar Nasional (SSN). Nilai UN misalnya digunakan sebagai dasar seleksi dari SD ke SMP/sederajat
dan dari SMP ke SMA sebagaimana tercantum pada Pasal 68 PP No. 16 Tahun 2005.
Siswa dengan nilai UN lebih tinggi berpeluang lebih besar untuk diterima di sekolah-sekolah
yang termasuk dalam kategori sekolah standar nasional (SSN). Siswa yang
memeliki nilai UN lebih rendah harus menerima kenyataan bersekolah di
sekolah-sekolah dengan mutu lebih rendah.
Sementara itu, di sisi lain Ujian Nasional (UN) itu sendiri sampai sekarang masih
menjadi kebijakan yang “kontrovesial”.
Kepala
Dinas Pendidikan DKI, Taufik Yudi Mulyanto menegaskan “RSBI/SBI harus menyediakan kuota 20% buat
pelajar miskin” (Media Indonesia, 17/02/2012). Sebelumnya Mendikbud, M.Nuh juga menghimbau
agar RSBI seluruh Indonesia mengalokasikan kuota 20% bagi pelajar miskin.
Kebijakan yang harus dilakukan pemerintah menurut penulis adalah menyelenggarakan sekolah dengan
berbagai “label” seperti ini dengan dana murni berasal dari masyarakat, seperti
diamanatkan dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang menyebutkan: “Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan
sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”(UU Sisdiknas No. 20 Tahun
2003, Pasal 9). Dengan kata lain,
masyarakat yang mampu dari segi ekonomi, dapat menyelenggarakan pendidikan
secara mandiri tanpa subsidi dari
pemerintah. Kemudian bagi warga golongan
menengah kebawah, pemerintah harus meningkatkan kuota pemberian beasiswa penuh
(tidak di pungut biaya apapun) sampai 50% mengingat kuota 20% belum dapat
menampung jumlah siswa miskin yang ada.
Agar
pemberian kuota 50% untuk siswa miskin berjalan efektif, pihak sekolah RSBI/SBI harus aktif mensosialisasikan
penerapan beasiswa penuh tersebut dan aktif menjemput
bola dengan mencari siswa-siswa berprestasi dari kalangan masyarakat
miskin. Kalau tidak, siswa dari kalangan
tidak mampu tidak mungkin mau mendaftar.
Alasannya, mereka akan merasa minder karena harus bersaing dengan
anak-anak orang kaya (Kompas.com). Mereka juga
berpikir beasiswa yang diberikan tidak penuh (masih di pungut biaya masuk, seperti
yang terjadi saat ini), sehingga mereka tidak mampu membayar. Dengan demikian orang
miskin dapat bersekolah di sekolah yang ber “label” dan bermutu. Sehingga
anggapan “orang miskin dilarang sekolah”
dapat hilang dengan sendirinya, SEMOGA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar