Sabtu, 31 Maret 2012


KEGAGALAN TVRI SEBAGAI ORGANISASI BELAJAR
Oleh :
Eko Wahyu Wibowo
Erma Yulia
Heri Triyono





 
1.    Pendahuluan



Dominasi televisi (TV) dalam aktivitas kehidupan manusia tidak dapat dibendung lagi. Kondisi seperti ini bukan merupakan rekaan melainkan sudah menjadi fenomena sosial dan nyata. Media TV begitu digemari masyarakat Indonesia. Ia bisa hadir menyajikan pesan audio visual dan gerak. Media ini juga dengan praktisnya bisa ditonton sambil santai di rumah, menyaksikan siaran langsung, dramatisasi, hiburan, sinetron, musik, dll. Tak heran jika televisi dianggap sebagai media hiburan.
TV juga berfungsi sebagai media informasi. Melalui media ini begitu mudah orang mendapatkan informasi di berbagai belahan dunia. Dengan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, media TV bisa menyajikan langsung (live) informasi atau liputan berita dari sumbernya pada saat yang bersamaaan. Sajian informasi juga bisa disajikan dengan interaktif antara pemandu acara di studio dengan reporter di lapangan, bahkan pemirsa di rumah pun bisa memilih berita yang diinginkan untuk di tayangkan di layar TV untuk selanjutnya memberikan opini terhadap berita tersebut. Sungguh canggih, TV menjelma menjadi sebuah media informasi.
Tidak hanya sebagai media hiburan dan informasi, TV juga merupakan media pendidikan. TV sangat mungkin bisa membawa pesan pendidikan (pembelajaran) sesuai sasaran yang telah di tetapkan. Bahkan, dengan kelebihannya, televisi mampu menyajikan pesan, memberikan penekanan kepada pesan-pesan yang diinginkan agar lebih mudah dicerna oleh sasaran. Televisi merupakan bisnis yang tidak hanya memerlukan biaya investasi awal yang besar untuk pengadaan infrastruktur, peralatan produksi studio dan penyiaran (pemancar dan jaringan transmisi), melainkan juga memerlukan biaya operasional yang besar, terutama untuk biaya produksi dan pengadaan (pembelian) program.
Dukungan biaya operasional yang cukup dan stabil dari pemilik sangat menentukan kemampuan suatu stasiun TV untuk memproduksi dan menyiarkan program bermutu, menarik, diminati dan dibutuhkam masyarakat. Dukungan dana tersebut terutama pada tahun-tahun awal pengoperasiannya sampai mampu mandiri (setelah menguntungkan).
Saat ini era globalisasi melanda semua negara di dunia, perusahaan-perusahaan memasuki lingkungan bisnis yang berbeda dengan yang sebelumnya. Pesaing bisnis datang tidak hanya dari lingkungan domestik, tetapi juga dari mancanegara yang membawa teknologi kerja dan proses kerja mutakhir.
Pesaing tidak hanya bertambah jumlahnya, melainkan juga mutunya. Perusahaan yang baru muncul, tidak sekedar muncul melainkan muncul dengan produk yang bermutu lebih baik dan harga yang lebih bersaing. Strategi bisnis yang mereka lakukan seringkali mengejutkan pebisnis lama: kreatif, inovatif, dan atraktif.
Adanya pasar bebas dan mobilitas modal serta informasi, maka dimungkinkan munculnya gagasan-gagasan baru yang dapat direalisasikan. Hambatan perdagangan yang berkurang meningkatkan kegairahan berusaha. Kalaupun gagasan tersebut sulit direalisasikan sendiri, menjadi lebih baik, lebih cepat, lebih kompetitif, merupakan hal yang semakin penting.
Demikian pula dalam bidang broadcasting, berkembangnya Teknologi Informasi dan Komunikasi di era globalisasi berdampak pada lebih mudahnya mengakses siaran-siaran Televisi Internasional selain TV Swasta Nasional. Hal ini menjadikan TVRI sebagai Televisi Nasional tidak mampu bersaing dan eksis di negaranya sendiri.

2.    Sejarah Televisi Republik Indonesia (TVRI)

Pada tahun 1961, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memasukan proyek media massa televisi kedalam proyek pembangunan Asian Games IV di bawah koordinasi urusan proyek Asean Games IV. Pada 25 Juli 1961, Menteri Penerangan mengeluarkan SK Menpen No. 20/SK/M/1961 tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2T). Selanjutnya 17 Agustus 1962, TVRI mulai mengadakan siaran percobaan dengan acara HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia XVII dari halaman Istana Merdeka Jakarta, dengan pemancar cadangan berkekuatan 100 watt. Tanggal 24 Agustus 1962, TVRI mengudara untuk pertama kalinya dengan acara siaran langsung Upacara Pembukaan Asian Games IV dari Stadion Utama Gelora Bung Karno. Selanjutnya 20 Oktober 1963, dikeluarkan Keppres No. 215/1963 tentang pembentukan Yayasan TVRI dengan Pimpinan Umum Presiden RI (www.tvri.co.id.)
Hampir semua bentuk kelembagaan pernah disandang atau mewadahi TVRI, mulai dari Yayasan TVRI, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Penerangan, Perusahaan Jawatan (Perjan) sampai Perseroan Terbatas (PT) dan sejak 24 Agustus 2006, TVRI bermigrasi lagi (berubah bentuk) menjadi Lembaga Penyiaran Publik (LPP) atau Televisi Publik – yang ditandai dengan pelantikan Direksi LPP TVRI - berdasarkan UU no. 32 / 2002 tentang Penyiaran.
Perubahan bentuk TVRI tersebut senantiasa didasari banyak pertimbangan, yang intinya adalah mencari bentuk yang paling sesuai bagi TVRI agar dapat berkiprah secara optimal sebagai lembaga penyiaran televisi dan sekaligus bermanfaat bagi kepentingan bangsa, negara dan masyarakat. Namun sayangnya setiap kali dioperasikan dengan status baru, TVRI tetap saja tidak dapat memenuhi harapan diatas dan kembali statusnya dipertanyakan sehingga terjadilah perubahan status kelembagaan TVRI dalam waktu yang relatif pendek, dimana TVRI hanya selama dua tahun berstatus sebagai Perusahaan Jawatan (2001 – 2003) dan dua tahun pula sebagai Persero (2003 – 2006), karena menurut UU no. 32/2002 seharusnya TVRI telah berubah status menjadi Lembaga Penyiaran Publik (TV Publik) pada akhir tahun 2005.
Sejak 24 Agustus 2006 atau bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ke-44 TVRI, status TVRI resmi berubah menjadi Lembaga Penyiaran Publik berdasarkan Undang-Undang no. 32/2002 tentang Penyiaran. TVRI masuk ke status Lembaga Penyiaran Publik dengan membawa segenap permasalahan atau kesulitan TVRI pada umumnya.

3.   Kegagalan TVRI Sebagai Sebuah Organisasi Belajar

Apabila diamati, kegagalan TVRI dalam melaksanakan misinya atau memenuhi harapan masyarakat, sebenarnya bukanlah disebabkan oleh status yang disandangnya atau hanya persoalan ketidakmampuan manajemen, Direksi, Dewan Pengawas / Komisaris maupun karyawan, melainkan berawal pada tidak terpenuhinya kondisi minimal yang dibutuhkan untuk beroperasi secara penuh dengan status yang disandangnya, seperti modal awal, instrumen hukum yang diterapkan dan unsur pendukung lainnya. Hal tersebut mungkin pula disebabkan oleh kurangnya persiapan atau tidak direncanakan secara cermat dan utuh (Wahid, 2005)
Untuk perbandingan, TV Swasta hanya memilki satu Stasiun Penyiaran di Jakarta, melakukan siaran paling banyak 24 jam/hari, karyawan berjumlah dibawah 800 orang dan Satuan Transmisi tidak lebih dari 50 lokasi, dan kabarnya menghabiskan dana operasional sekitar 500 – 600 milyar rupiah per tahun. Tentu tidak tepat untuk membandingkan TV Publik dengan TV Swasta (Komersial), karena mereka organisasi yang berbeda. Namun demikian TV Publik memang harus tetap bersaing dengan TV Swasta dalam memperebutkan minat pemirsa.
Setelah TVRI menjadi Persero situasinya tidak banyak berubah, ada dukungan dari APBN. Adanya dana tersebut tentu sangat membantu, namun tidak cukup untuk membuat TVRI menggeliat atau bangkit. TVRI tetap terpuruk dalam hingar bingar industri televisi di tanah air, apalagi secara internasional. Kecilnya anggaran APBN untuk TVRI tentu bukan salah pemerintah, tetapi karena memang pemerintah tidak memiliki dana yang cukup, itulah kemampuan negara kita.
Kebutuhan biaya operasional masa sekarang ini tentu jauh lebih besar, diperkirakan paling tidak TVRI membutuhkan dukungan dana operasional dari APBN dan kekurangannya harus dicari sendiri oleh TVRI melalui siaran iklan ataupun usaha produktif lainnya. Karena pada gilirannya, program bermutu akan menarik (menghasilkan) banyak pemirsa -populer- dan pemirsa yang besar jumlahnya akan menarik bagi pemasang iklan (advertiser) untuk beriklan di stasiun yang bersangkutan. Sebaliknya, image dan popularitas suatu stasiun TV akan terpuruk apabila tidak mampu menghadirkan program bermutu sehingga tidak menarik bagi pemasang iklan.
Program bermutu akan menghasilkan popularitas dan image yang kuat serta pemirsa yang besar jumlahnya. Pemirsa yang besar jumlahnya akan menarik pengiklan dan pada gilirannya akan menghasilkan pendapatan dan keuntungan yang besar. Pendapatan dan keuntungan yang besar akan membuat stasiun mampu untuk memproduksi dan mengadakan program yang semakin kompetitif. Namun sebaliknya, apabila stasiun tidak mampu membangun popularitas dan image-nya pada tingkat yang wajar maka stasiun yang bersangkutan tidak akan mampu merebut ‘kue’ iklan, pendapatan sangat rendah, tidak menguntungkan (rugi), sehingga juga tidak akan mampu mengadakan program yang kompetitif. Apabila kondisi ini yang tercipta, pemilik atau investor perlu turun tangan, tanpa suntikan dana dari pemilik (investor) stasiun akan collapse dengan sendirinya.
Ungkapan lainnya, program yang bagus dan pendapatan iklan ibarat ayam dan telur.
Strategi pemasaran tidak dapat dilepaskan dari strategi program dan programming dari stasiun secara keseluruhan. TVRI mempunyai kekuatan tersendiri yaitu pada “ke-Indonesiaan-nya” yang tidak mungkin disaingi oleh stasiun jaringan lain sebagai pesaing terberat TVRI. Persoalannya tinggal lagi bagaimana menciptakan, memproduksi dan mengemas program yang berkonten Indonesia.
Untuk menjalankan strategi di atas TVRI sangat penting untuk memiliki tenaga programming dan tenaga penjualan yang kuat, terdidik dan terampil di bawah supevisi manajer program dan manajer penjualan yang menguasai bidangnya. Bagi stasiun yang tidak mau mengambil risiko rugi besar tentu telah mempersiapkan kedua kelompok tenaga tersebut jauh-jauh hari sebelumnya. Tidak mengherankan bahwa stasiun televisi jaringan (TV Swasta Nasional) yang tergolong sukses saat ini, semuanya menggunakan jasa konsultan dan disupervisi tenaga ahli berpengalaman pada tahun-tahun awal pengoperasiannya. Mereka benar, karena bisnis televisi hanya memberikan dua opsi yaitu: untung besar atau rugi besar.
Saingan terberat TVRI adalah TV Jaringan (TV Swasta Nasional). Menghadapi persaingan tidak ringan karena program TV Jaringan (TV Swasta Nasional) telah lebih dahulu digandrungi oleh masyarakat daerah bahkan mungkin digunakan sebagai barometer untuk mengukur dan menilai program TVRI. Sehingga masalah yang dihadapi TVRI adalah bagaimana merebut minat pemirsa.
Menurut Senge (1996:59), dalam suatu organisasi yang bermasalah obat bisa lebih parah dari penyakitnya. Semua intervensi pemerintah pada suatu organisasi bukan hanya “tidak efektif” tetapi juga dapat menjadi “racun” dalam hal membantu meningkatkan ketergantungan dan mengurangi kemampuan orang-orang dalam organisasi (perusahaan) untuk memecahkan masalah mereka sendiri.
Permasalahannya adalah bagaimana mengatasi permasalahan TVRI sebagaimana dimaksud di atas yang sebenarnya juga telah menjadi permasalahan TVRI selama ini (apapun status yang disandangnya)? 

4.    Penutup
           
Kesulitan yang dihadapi TVRI, juga setelah berstatus sebagai TV Publik, secara garis besar adalah: (1) Ketergantungan dana dari subsidi pemerintah untuk biaya operasional; (2) Keterbatasan program planner/tenaga kreatif; (3) Program research and audience research; (4) Gagal merebut minat masyarakat/pemirsa.
TVRI bisa eksis di negaranya sendiri. Kuncinya adalah popularitas dan image dalam merebut simpati masyarakat dan keuntungan dari siaran komersial. Banyak faktor (variabel) yang menentukan image stasiun televisi, namun yang terpenting adalah mutu program siarannya dan sejauhmana siaran TVRI dapat diterima masyarakat.
           

Referensi

Wahid, Wardi. 2005. TV Lokal Mampukah Mereka Bersaing? http://tvconsulto.com/?p=54. [28 Maret 2012]
Senge, Peter M., 1996, Disiplin Kelima, Seni dan Praktek dari Organisasi Pembelajar, Bina rupa Aksara, Jakarta.

TELEVISI PENDIDIKAN INDONESIA (TPI) DALAM TINJAUAN ORGANISASI BELAJAR                          

Rabu, 14 Maret 2012



PENGARUH PENDEKATAN PEMBELAJARAN DAN MINAT BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR MAHASISWA PADA MATA KULIAH TEKNIK KOROSI

            Salah satu matakuliah yang wajib diikuti oleh mahasiswa program studi Teknik Mesin S1 FT-UNIMED adalah matakuliah Teknik Korosi dengan bobot 2 SKS. Ruang lingkup matakuliah ini diawali dengan penyajian, pengertian, dan pemahaman tentang mekanisme terjadinya korosi, merancang sistem pengendalian korosi, dan pemeriksaan (monitoring) korosi di lapangan.
Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar matakuliah ini, metode yang digunakan adalah metode konvensional.  Kondisi pembelajaran yang dilaksanakan selama ini dirasakan kurang efektif dimana dosen lebih aktif dalam menjelaskan, sedangkan mahasiswa lebih banyak mendengarkan (pasif), kecenderungan rata-rata nilai mahasiswa: A (6 %), B (17,5 %), C (40,5 %), D (22,5 %), dan E (10,5 %) pada setiap akhir semester. Dari hasil ini 33 % perolehan hasil belajar mahasiswa untuk matakuliah Teknik Korosi adalah rendah.
Dalam rangka meningkatkan hasil belajar mahasiswa jurusan Teknik Mesin S1 sesuai dengan tujuan pembelajaran, dirasa perlu untuk mengupayakan strategi  pembelajaran yang efektif dan efisien. Finch dan Crunkilton (1979) mengemukakan ada tiga unsur yang sering ditemukan dalam pengajaran kompetensi, yaitu : individualisasi, teknologi pengajaran, dan sistematisasi.
Ketiga kompetensi harus dilakukan dengan mengefektifkan strategi pembelajaran. Salah satu strategi pembelajaran yang dirasakan dapat meningkatkan hasil belajar teknik korosi adalah dengan menggunakan bahan ajar dalam bentuk modul. Hal ini sesuai dengan pendapat Finch dan Crunkilton (1979) bahwa keunikan pengajaran dengan menggunakan modul berdasarkan kompetensi terletak pada asumsi yang mendasarinya, yaitu: 1) kompetensi, 2) kriteria, 3) penilaian kompetensi, 4) kemajuan siswa, dan 5) maksud (intent) pengajaran.
            Pengajaran Modul adalah suatu cara penyampaian bahan perkuliahan terhadap mahasiswa dengan menggunakan modul. Pengertian modul menurut Nasution (1988) “Modul adalah suatu unit yang lengkap yang berdiri sendiri dan terdiri atas suatu rangkaian kegiatan belajar yang disusun untuk membantu mencapai sejumlah tujuan yang dirumuskan secara khusus dan jelas”.
Sistem pengajaran konvensional terdiri dari pemberian penjelasan (ceramah) kepada siswa dan diiringi latihan. Masih seringnya dosen mempergunakan metode ceramah dalam mengajar disebabkan desakan kurikulum, seperti yang dikatakan Semiawan dkk (1996) karena terdesak waktu untuk mengejar pencapaian kurikulum, maka dosen akan memilih jalan yang termudah, yaitu menginformasikan fakta dan konsep melalui metode ceramah.
Sehubungan dengan hal itu, Davies (1991) mengemukakan banyak dosen yang cenderung untuk mengajar secara berlebihan. Pengajaran konvensional lebih menitik beratkan pada persamaan daripada perbedaan mahasiswa. Vembrianto (1988) menjelaskan bahwa perbedaan perseorangan di antara siswa-siswa pada pengajaran yang bersifat konvensional dianggap tidak penting, sehingga dapat diabaikan.
Kendatipun penelitian yang menunjukkan keunggulan metode ceramah dibandingkan dengan metode-metode lainnya belum dapat dibuktikan, namun metode ini sampai sekarang tetap digunakan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengajaran dengan menggunakan metode konvensional, urutannya adalah sebagai berikut: 1) persiapan oleh guru; 2) penjelasan (ceramah); 3) pemberian latihan; dan 4) evaluasi atau umpan balik.
Winkel (1987) menyatakan bahwa minat sebagai motif yang menunjukkan arah perhatian individu dengan objek yang menarik dan menyenangkan. Apabila individu memperhatikan suatu objek yang menarik dan menyenangkan, maka ia cenderung akan berusaha untuk lebih aktif dengan objek tersebut.
Menurut  Walgito (1981) minat merupakan  suatu keadaan, dimana seseorang mempunyai  perhatian terhadap objek yang disertai dengan keinginan untuk mengetahui dan mempelajari maupun pembuktian lebih lanjut serta kecenderungan untuk berhubungan lebih aktif dengan objek.  Minat belajar merupakan salah satu faktor internal dari mahasiswa, oleh karena itu akan mempengaruhi hasil belajar.
            Berdasarkan pengertian di atas, minat belajar mahasiswa adalah unsur perhatian, kemauan dan rasa keingintahuan mahasiswa. Dengan demikian kemauan mahasiswa yang semakin besar akan berpengaruh positif terhadap hasil belajarnya.
Apabila ditinjau dari karakteristik, mahasiswa yang memiliki ketekunan, keinginan, dan rasa senang yang tinggi terhadap materi pelajaran, maka pembelajaran modul diduga akan lebih tepat dan membantu pemahaman mahasiswa terhadap konsep-konsep yang dipelajari. Hal ini dapat dipahami karena dengan pembelajaran modul mahasiswa dengan minat belajar tinggi diduga akan mampu belajar secara mandiri sesuai dengan kemampuan dan caranya sendiri. Sedangkan dengan pembelajaran konvensional mahasiswa dengan minat belajar tinggi diduga tidak dapat mengembangkan kecepatan belajarnya disebabkan terlalu banyaknya interaksi sesama mahasiswa.  Diduga hasil belajar mahasiswa yang memiliki minat belajar tinggi apabila proses pembelajarannya menggunakan modul akan memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi daripada dengan pembelajaran konvensional.
Karakteristik mahasiswa yang berminat rendah antara lain kurang bekerja keras dan tidak memiliki rasa senang terhadap materi kuliah. Dengan diterapkannya pembelajaran konvensional kondisi mahasiswa tersebut diharapkan akan mengalami perbaikan dengan adanya sikap disiplin yang ditanamkan oleh dosen kepada mahasiswa. Sedangkan mahasiswa yang memiliki minat belajar rendah jika diterapkan dengan pembelajaran modul, diduga kegiatan belajar mahasiswa tidak mengalami perubahan. Mahasiswa yang pada mulanya tidak tertarik dan kurang kerja keras tidak terbantu dengan pembelajaran modul. Dengan demikian dapat diduga hasil belajar Teknik Korosi dari mahasiswa yang memiliki minat belajar rendah jika diterapkan dengan pembelajaran konvensional akan lebih tinggi daripada yang diterapkan dengan pembelajaran modul.
            Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah diuraikan di atas, maka hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) terdapat perbedaan hasil belajar Teknik Korosi dari mahasiswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran modul dan pendekatan pembelajaran konvensional;  (2) terdapat perbedaan hasil belajar Teknik Korosi dari mahasiswa yang memiliki minat belajar tinggi dan minat belajar rendah; (3) terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan minat belajar terhadap hasil belajar Teknik Korosi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Perbedaan hasil belajar Teknik Korosi dari mahasiswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran modul dan pendekatan pembelajaran konvensional. (2) Perbedaan hasil belajar Teknik Korosi dari mahasiswa yang memiliki minat belajar tinggi dan minat belajar rendah. (3) Interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan minat belajar terhadap hasil belajar Teknik Korosi.